-->

Minimnya Pelayanan Kesehatan Bagi Orang Miskin

UDING, 54 TAHUN, warga Legok, Tangerang, seorang petani penderita penyakit tumor ganas di perut, terpaksa tidur di dekat toilet UGD RSCM karena tak memperoleh kamar perawatan. Padahal Uding sudah membawa kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang biasa digunakan untuk orang miskin. Namun, pihak RSCM mengaku kamar pasien penuh, jadi Uding diminta untuk kembali ke kampung halamannya. Apa boleh buat, karena untuk uang transport pun ia kesulitan, maka Uding pasrah menunggu di RSCM meskipun seakan tak ada kepastian. Berita Uding menyedot perhatian dan keperihatinan warga ibu kota beberapa waktu yang lalu.
            Kisah serupa JUGA tidak hanya berlaku bagi seorang petani semacam Uding. Seorang bayi, anak ketiga dari Budi,  Jaksa di Medan meninggal dunia karena kanker paru-paru pada 2010. Anak yang baru berusia 45 hari ini meng­hembuskan nafas terakhir karena biaya berobat sebesar Rp 250 juta tidak ada. Kasi Pidum Kejari Sumut itu tak mampu menanggung biaya berobat sebesar itu. Askes yang dia punya, hanya mampu menjamin sampai anak kedua saja.
            Kisah Uding ataupun bayi mungil Budi menjadi potret buram wajah pelayanan kesehatan Indonesia. Pelayanan kesehatan ataupun pengobatan terbaik bagi rakyat miskin tampaknya masih jauh dari harapan. Makanya, tak salah jika seorang penulis seperti Eko Prasetyo menulis buku  dengan judul yang sangat provokatif: “Orang Miskin Dilarang Sakit!”.
            Ketika pemerintah seperti tak acuh, harapan masyarakat miskin hanya tinggal kelompok civil society yang mau membantu meringankan beban mereka. Salah satu tambatan hati kalangan papa ini adalah lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah yang menyelenggarakan pro­gram bantuan kesehatan ataupun pengo­batan gratis. Dompet Dhuafa misalnya, punya iklan yang menggugah hati : “Ka­rena Sehat Milik Semua, Jangan Biarkan Pasien Miskin Ditolak Rumah Sakit”. Dana Mustadhafin juga mengambil peran yang sama. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir permohonan bantuan pengobatan/kesehatan naik. Sampai-sampai kadang tak mampu dilayani karena keterbatasan dana.
            Kenyataan ini seharusnya menjadi perhatian pejabat pemerintah. Lembaga-lembaga yang ada dan tumbuh di tengah masyarakat tak mungkin mampu untuk berbuat banyak jika pemerintah seakan lamban, apatah lagi seperti lepas tangan. Pada hakikinya, pemerintahlah yang ber­tanggungjawab untuk memenuhi pela­yanan kesehatan prima bagi rakyatnya.
            Sulastomo, Mantan Ketua Tim Sis­tem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan perumus UU 40/2004 tentang SJSN,  me­ngungkap bahwa masyarakat miskin dan tidak mampu berhak mendapatkan jami­nan kesehatan, sesuai Pasal 34 UUD 1945.
            “Jaminan kesehatan merupakan jaminan sosial pertama yang dibutuhkan manusia. Begitu dilahirkan, jaminan ke­se­hatan telah diperlukan, untuk bayi dan ibunya. Siapa yang harus membiayai ja­minan kesehatannya ketika bayi itu de­wa­sa ataupun pada saat sudah purnatu­gas? Jaminan kesehatan diperlukan sepanjang kehidupan manusia. Kalau aspek pembiayaan tidak terjamin, dampaknya sudah tentu pada status kesehatan rakyat. Kematian bayi, kematian ibu yang melahirkan tinggi, dan harapan hidup (life-expectancy) akan rendah,“ tulisnya di Kompas, 26 Desember 2009.
            Pelayanan kesehatan bagi rakyat merupakan keniscayaan. Bukan hanya di negeri-negeri welfare state seperti Jerman yang hanya menerapkan jaminan sosial bagi warganya, bahkan negara Kapitalis macam Amerika juga mulai menunjukkan upaya akomodatif kepada kalangan miskin. Undang-Undang Reformasi Kesehatan yang disahkan Obama, tahun lalu dipuji banyak kawan maupun lawan politiknya karena berani memberi pelayanan kesehatan untuk 30 juta rakyat miskin AS yang  tak mampu membeli asuransi kesehatan.
            Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Kesehatan RI, yang lulusan universitas ternama di AS itu tampaknya urung mengikuti kebijakan populis gaya Obama. Endang mengaku belum bisa membantu layanan kesehatan bagi warga miskin seperti AS karena harus realistis mengingat kemampuan keuangan negara (Menuju Jaminan Kesehatan Sosial Nasional, Kompas, 25 Maret 2010).
            Menurut Endang, saat ini baru 50,8 persen penduduk Indonesia yang mem­punyai jaminan kesehatan; terdiri dari peserta Jamkesmas/Jamkesda 37,5 per­sen, peserta Askes sosial 6,6 persen, pe­ser­ta Askes komersial 1 persen, Jami­nan Kesehatan dalam Jamsostek 2 per­sen, Asabri 0,9 persen, dan asuransi lain 2,9 persen. Jaminan Kesehatan bagi En­dang tak identik dengan pengobatan gratis.
            “SJSN berasaskan gotong royong. Jaminan kesehatan tidak gratis, tetapi didanai bersama-sama secara bergotong royong melalui iuran. UU SJSN menga­ma­natkan bahwa setiap orang wajib men­jadi peserta program Jaminan Kesehatan Sosial Nasional. Iuran bagi fakir miskin dan tidak mampu dibayar Pemerintah, masyarakat pekerja (formal/penerima upah) iurannya ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja, sedangkan sektor informal (pekerja mandiri/tidak menerima upah) iurannya ditentukan khusus,” sebut Endang.
            Model iuran inilah yang masih ber­si­lang paham diantara berbagai elemen masyarakat. Para buruh dan pekerja ba­nyak yang menolak dilaksanakannya iuran yang dimaksud itu, bagi mereka hak jaminan sosial merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak tersebut diakui secara internasional sejak didekla­rasikan oleh PBB. Hak Jaminan Sosial mencakup jaminan kesehatan, jaminan pensiun, jaminan kehilangan upah, dan lain sebagainya.
             UU SJSN hanya berhenti diregulasi tanpa aksi. Dibanding negara lain perhatian Indonesia seakan minim sekali soal jaminan sosial ini. Ambillah contoh dana jaminan sosial, dana amanat milik pekerja di Jamsostek hanya sekitar Rp 85 triliun di pertengahan tahun 2010, terlalu kecil dibandingkan dana jaminan sosial di beberapa negara. Malaysia mi­sal­nya jika dikonversi ke rupiah menca­pai lebih dari Rp 1.000 triliun. Padahal, penduduk Indonesia sepuluh kali lipat dari penduduk Malaysia.
            Padahal, UU SJSN sudah semestinya diperkuat dengan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS, yang memuat aturan teknis pelaksanaannya.  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) 13 Juli 2011 yang lalu memenangkan gugatan warga negara (citizen lawsuit/CLS) melawan pemerintah dalam kasus Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), demi menguatkan peran hukum bagi kepentingan rakyat. Hakim memustuskan untuk menghukum para tergugat untuk segera membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hakim menilai para tergugat,yaitu Presiden RI, Ketua DPR, Wapres RI, Menko Kesra, Menko Perekonomian, Menkeu, Menkum HAM, Menkes, Mensos, Menakertrans dan Menhan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena lalai tidak membuat UU BPJS. Putusan PN Jakpus ini disambut baik oleh kalangan buruh dan masyarakat miskin pada umumnya.
            Inilah bukti bahwa Pemerintah Indonesia belum mempunyai komitmen serius memperbaiki tugas pokok negara, melindungi seluruh rakyat dari risiko sosial ekonomi, yang merupakan amanat inti konstitusi. v
LihatTutupKomentar

Berlangganan via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner