Allah SWT menciptakan manusia
berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan dengan diberikan
perasaan cinta dan syahwat. Perasaan inilah yang menjadikan manusia suka
pada lawan jenis dan ingin hidup bersama sebagaimana yang terjadi pada
penghulu manusia yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa. Namun demikian, manusia
juga dianugerahi akal yang membedakannya dengan makhluk lainnya seperti
hewan, sehingga manusia terikat dengan aturan khusus dalam berpasangan
dengan lawan jenisnya, yaitu melalui pernikahan yang sah sesuai syari’at Islam.
Pernikahan sebagai jalinan hubungan dua insan laki-laki dan perempuan
disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia yang halal dan
sesuai dengan aturan Syari’at. Disamping itu, masih banyak lagi tujuan
disyariatkannya pernikahan ini di antaranya : memperbanyak keturunan
yang bersujud kepada Allah, menjaga mata dari pandangan yang haram,
lebih-lebih lagi menjaga kemaluan dari berbuat perzinaan seperti telah
termaktub keharaman ini dalam al-Qur’an :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isra’: 32)
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isra’: 32)
Rasulullah SAW memerintahkan kepada para pemuda yang telah mampu
menikah untuk segera melaksanakannya, sebagaimana dalam sabdanya :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَاب مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْج.
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءْ
“ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu untuk menikah, maka bersegeralah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menutup mata (dari pandangan haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari haram). Barang siapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi perisai baginya. “ (H.R. Muslim)
“ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu untuk menikah, maka bersegeralah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menutup mata (dari pandangan haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari haram). Barang siapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa bisa menjadi perisai baginya. “ (H.R. Muslim)
Ulama’ memberikan perincian pada hukum pernikahan sebagai berikut :
Sunnah, jika menginginkan untuk menikah serta mampu membayarkan mahar dan nafkah di hari pernikahan.
Makruh, jika tidak menginginkan untuk menikah serta tidak mendapatkan biaya pernikahan. Jika gemar beribadah, maka meninggalkan pernikahan dengan menyibukkan diri dengan beribadah adalah lebih utama.
Haram, jika tidak sesuai dengan aturan syari’at seperti kawin kontrak.
Sunnah, jika menginginkan untuk menikah serta mampu membayarkan mahar dan nafkah di hari pernikahan.
Makruh, jika tidak menginginkan untuk menikah serta tidak mendapatkan biaya pernikahan. Jika gemar beribadah, maka meninggalkan pernikahan dengan menyibukkan diri dengan beribadah adalah lebih utama.
Haram, jika tidak sesuai dengan aturan syari’at seperti kawin kontrak.
Oleh karena itu, jika seorang pemuda telah menginginkan untuk menikah dan mampu, maka hendaknya ia bersegera mengerjakan sunnah Rasulullah itu dengan niat menyelamatkan diri dan agamanya dari kemaksiatan. Ada pun masalah kemapanan dalam ekonomi, hal ini sebenarnya bagian dari suratan takdir Ilahi. Kita tinggal menyerahkan sepenuhnya kepada Allah setelah proses ikhtiar (usaha) dilakukan dengan bekerja.
Dalam hal ini Allah SWT telah memberikan jaminan kecukupan bagi orang
yang kurang mapan yang menikah untuk menyelamatkan diri dan agamanya
dari kemaksiatan sebagaimana dalam al-Qur’an :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. an-Nur: 32)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. an-Nur: 32)
Perhatikan janji Allah dalam ayat di atas yang akan mencukupi orang
yang menikah, karena sungguh Allah tiada mengingkari janji-Nya. Ini
adalah pemberian atau rizki Allah secara khusus kepada orang yang
menikah setelah pemberian atau rizki secara umum kepada semua
makhluk-Nya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya..”(Q.S. Hud;6)
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya..”(Q.S. Hud;6)
Jadi tidak benar jika seorang pemuda tidak segera menikah karena
belum mapan dengan alasan mengejar karir, tapi menjalin hubungan
(berpacaran) yang sudah jelas diharamkan syari’at. Yang bersangkutan
berarti meragukan janji Allah. Begitu pula bagi orang tua yang suka
menolak pemuda yang meminang putrinya dengan alasan si laki-laki belum
mapan atau menginginkan putrinya menjadi wanita karir dulu. Di sisi
lain, si orang tua tidak memperdulikan putrinya berpacaran, berduaan dan
berjalan dengan laki-laki yang bukan mahrom hingga tidak sedikit dari
mereka yang terjerumus dalam perzinaan dan hamil di luar nikah. Ini
semua merupakan akibat persepsi-persepsi salah yang mereka anut hingga
tidak memperdulikan keselamatan agamanya. Padahal sebagai orang tua atau
kepala keluarga diwajibkan untuk selalu menjaga diri dan keluarga dari
api neraka.
Alasan ingin menjadi orang mapan atau menggapai cita-cita terlebih
dahulu sebelum menikah, akan bisa dibenarkan dengan syarat tetap menjadi
pribadi yang bertaqwa dengan menjaga kesucian diri dan agamanya dari
hubungan yang dilarang oleh Syari’at, sebagaimana dalam firman Allah SWT
:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. …” (Q.S. an-Nur: 33).
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. …” (Q.S. an-Nur: 33).
Tidak sedikit dari para ulama’ dan orang sholeh yang tidak menikah
karena alasan tertentu dan tetap menjaga diri dan agamanya dari lembah
kemaksiatan. Salah satu dari orang-orang ini adalah Imam Nawawi, seorang
imam terkemuka dalam madzhab Syafi’i. Beliau selalu menyibukkan diri
dengan beribadah, dakwah dan mengarang kitab untuk kemaslahatan umat
Islam, hingga beliau tidak menikah karena takut tersibukkan oleh
kehadiran istri dalam kehidupannya.
Ketahuilah bahwa kita diciptakan Allah di dunia ini untuk beribadah
dan menjadi hamba yang bertakwa, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi dan
memperbanyak materi, karena Allah telah memberikan jaminan atasnya.
Sehingga yang terpenting bagi kita adalah bagaimana berusaha untuk
selalu taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi segala
larangan keduanya. Menikah, jika dilakukan dengan tujuan untuk
menyelamatkan diri dan agama dari fitnah zaman, kemaksiatan yang sudah
merajalela, bukanlah menjadi suatu beban dalam ekonomi, tapi justru bisa
menjadi kunci sukses ekonomi karena adanya jaminan dari Allah. Jadilah
hamba yang taat dalam mengikuti aturan dan syariat, insya Allah Anda
akan sukses dunia akhirat
Sumber: Hikmah Ilmu